Pendidikan

GURU, GURU, GURU

Jabatan guru di era reformasi ini masih belum menggembirakan, khususnya dilihat dari imbalan materi yang diperoleh dari jasa yang disumbangkannya, sehingga jabatan guru belum merupakan jabatan yang menarik bagi generasi muda pada masa kini. Sampai-sampai guru yang biasa diberi akronim “patut digugu dan ditiru,” yang bermakna pantas untuk diteladani berubah menjadi “wagu tur kuru,” yang berarti tidak pantas dan kurus. Pandangan masyarakat yang semacam ini memberikan imij pada generasi muda bahwa menjadi guru bukanlah jabatan yang menjanjikan. Jabatan guru merupakan pilihan terakhir bagi generasi muda, sehingga sangat sulit mencari bibit atau calon guru dari generasi muda yang unggul, yang memiliki kelebihan dalam berbagai hal dibanding dengan generasi muda pada umumnya. Kondisi yang semacam ini pasti kurang atau tidak menguntungkan bagi pembangunan di bidang pendidikan yang secara pelan tetapi pasti akan berakibat terpuruknya bangsa di masa yang akan datang.

Situasi semacam ini telah dialami oleh bangsa ini sejak tahun 1960-an. Sampai-sampai seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era orde baru, mencoba untuk membesarkan hati guru dengan cara membuatkan hymne guru yang diberi judul :”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.” Sementara itu diadakan lomba untuk memilih guru teladan tingkat nasional; dan mereka yang terpilih untuk menjadi ranking pertama sampai ketiga dapat mengadakan studi banding ke negeri Sakura. Pada berbagai kesempatan selalu didengungkan bahwa di dunia ini hanya ada dua jenis jabatan, yakni guru dan non guru, yang mendidik dan yang dididik, karena semua pejabat yang non guru pasti pernah dididik oleh guru.

Namun upaya tersebut kurang efektif dalam mendongkrak jabatan guru menjadi jabatan yang didambakan oleh generasi muda. Pernah terdengar anekdot di Maluku, pada tahun 1950-an kalau ada seorang pemudi yang tidak menurut pada orang tua, maka ayahnya mengatakan tidak akan dicarikan suami seorang guru, dan anak tersebut menangis tiada henti. Tetapi sebaliknya pada tahun 1970-an seorang anak perempuan akan menangis sejadi-jadinya kalau mau dikawinkan dengan seorang guru. Hal tersebut hanya sekedar suatu ilustrasi untuk menggambarkan betapa merosotnya citra seorang guru di kalangan masyarakat di negara tercinta ini.

Betapa tinggi martabat seorang guru justru terjadi pada masa penjajahan Belanda. Seorang guru lulusan Normalschool, setingkat dengan Sekolah Guru Bawah, empat tahun sesudah lulus Sekolah Dasar mendapat gajih sebesar f.25,- cukup menghidupi keluarganya dengan baik. Sedang yang lulus Kweekschool, setingkat SGB dengan bahasa Belanda akan mendapat gajih lebih besar f.125,- Apalagi yang lulus HIK, setingkat SGA atau SPG akan memperoleh gajih yang lebih tinggi lagi. Dengan gajih yang cukup tersebut maka perilaku guru dapat terkontrol dengan sempurna, dan guru dapat dijadikan pola teladan.

Begitu meremehkannya para pejabat di negara ini terhadap jabatan guru, sampai-sampai lembaga pendidikan yang menyiapkan calon guru dihapus dari peredaran dan nomenklatur lembaga pendidikan. Sekolah Pendidikan Guru ditiadakan pada tahun 1980-an, dan IKIP dihapus pada tahun 1990-an. Guru dipandang sebagai jabatan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak perlu adanya lembaga pendidikan khusus yang melakukan pembinaan secara khusus pula, untuk membentuk guru-guru yang berkualitas dan profesional. Sebagai akibat secara pelan dan pasti jabatan guru bukan menjadi jabatan profesional yang perlu dihargai dan dihormati, tetapi merupakan jabatan sampiran, sekedar sebagai lapangan pekerjaan bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan yang lain.

Sudah menjadi wacana umum dan diakui sebagai suatu kebenaran, bahwa negara-bangsa yang ingin maju, pendidikan bagi rakyatnya harus baik dan berkualitas. Suatu pendidikan yang baik dan berkualitas di samping memerlukan sarana dan prasarana yang prima, utamanya memerlukan guru yang prima pula. Bahkan ada ungkapan yang mengatakan, pendidikan akan tetap dapat berjalan asal ada guru yang baik. Tanpa sarana dan prasarana pendidikan dapat berlangsung pendidikan asal ada guru. Bila perlu pendidikan dapat diselenggarakan di bawah pohon. Seperti yang diselenggarakan di Santi Niketan, India, bahkan diprogram agar pendidikan diselenggarakan di luar gedung sehingga dapat menyatu dengan alam.

Memang Depatermen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1970-an telah mengupayakan program untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas guru. Dengan bantuan dari Bank Dunia, sekolah guru direhabilitasi, di adakan rasionalisasi sehingga terjadi keseimbangan antara jumlah lulusan lembaga pendidikan dengan keperluan guru pada waktu itu. Perencanaan pengadaan guru diprogram berbasis kabupaten. Implementasi otonomi pendidikan yang baru diselenggarakan tigapuluh tahun kemudian, dicoba untuk diterapkan dalam menyelenggarakan pendidikan untuk guru. Sementara itu ratusan guru-guru SPG dikirim ke luar negeri untuk belajar dan memperoleh pengalaman di negeri lain, seperti ke Inggris, Amerika dan Kanada. Namun sayangnya usaha peningkatan secara kualitatif tersebut kurang diimbangi dengan pemberian imbalan yang memadai, sehingga banyak yang meninggalkan profesi guru.

Dengan bantuan Bank Dunia, guru-guru SD juga ditingkatkan dengan mengadakan penataran yang tiada henti-henti, dan memberikan kesempatan untuk melanjutkan belajar di perguruan tinggi. Sebagian besar guru sekolah dasar dapat mecapai gelar Sarjana. Namun kembali lagi bahwa penghargaan pada guru tidak memadai. Memang jumlah guru di negara Indonesia ini cukup besar, keseluruhannya mencapai sekitar dua juta orang. Kalau andaikata seorang guru ditambah gajihnya Rp.100,000,- rupiah seorang setiap bulannya, maka anggaran yang diperlukan menjadi 12 X 2.000.000 X Rp.100.000,- satu tahun, menjadi Rp.2.400.000.000.000,- atau Rp.2,4 trilyun. Agar penambahan gajih itu bermakna, maka selayaknya tambahan itu sekitar Rp.1 juta, sehingga diperlukan anggaran tambahan untuk gajih guru sebesar Rp.24,- trilyun dalam setahun. Anggaran ini tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan akibat yang akan diperoleh dengan kualitas pendidikan yang akan dapat diwujudkannya. Dengan cara ini dapat diselenggarakan standarisasi pendidikan, sehingga antara sekolah swasta yang baik/mahal dengan sekolah negeri menjadi berimbang.

Marilah kita mencoba untuk merenung sejenak, betapa makna pendidikan untuk masa datang. Suatu bangsa yang kurang atau tidak peduli terhadap pendidikan bagi generasi mudanya, akan menggali lubang bagi kehancuran bangsanya di masa yang akan datang. Memasuki era globalisasi terjadi persaingan yang sangat ketat, sehingga sumber daya manusia yang berkualitas, kompeten, kreatif dan innovatif serta mampu bersaing akan menentukan tetap eksisnya suatu negara-bangsa.

Pengalaman lapangan menunjukkan bahwa potensi sumber daya manusia tidak kalah bila dibandingkan dengan sumber daya manusia di negara lain. Hal ini terbukti bahwa generasi muda kita selalu memenangkan berbagai olimpiade ilmu pengetahuan yang diselenggarakan di berbagai negara. Hal ini dapat berhasil atas bimbingan seorang guru handal, yang kita semua mengenalnya. Kita membutuhkan guru-guru lebih banyak lagi seperti Prof. Soerya untuk menghasilkan anak-anak yang berkualitas. Untuk itu diperlukan lembaga pendidikan guru yang baik, handal yang dapat menghasil kan guru-guru yang bermutu, berdedikasi tinggi, memiliki etos kerja yang prima. Sementara itu penghasilan guru harus memadai, sehingga guru tidak disibukkan untuk mencari penghasilan tambahan sekedar untuk bertahan hidup.

Pemerintah maupun lembaga legislatif harus berpandangan visioner, tidak hanya melihat permasalahan jangka pendek, hanya memecahkan masalah yang timbul sesaat, seperti lumpur panas, UMR, pilkada, dan sebagainya. Masalah pribadi, kelompok atau golongan harus selekasnya dikesampingkan, untuk segera berfikir jauh ke depan, menyiapkan generasi muda menghadapi tantangan yang bukan lebih mudah tetapi lebih berat dan mungkin tidak terduga yang bakal terjadi.

Pada tahun 1970-an kondisi pendidikan di Indonesia dinilai cukup baik bila dibandingkan dengan negara tetangga. Banyak negara tetangga yang berkiblat ke Indonesia. Pada waktu itu Malaysia minta bantuan tenaga guru dari Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikan di sekolah menengah dan perguruan tinggi. Setiap tahun pemerintah mengirimkan guru dan dosen ke Malaysia. Namun setelah tigapuluh tahun berlalu kondisinya berubah, bahkan dapat dikatakan berbalik. Mengapa sampai terjadi demikian? Hal ini mungkin karena kita selalu bertengkar pada masalah politik, sehingga lupa membenahi segi ekonomi dan sosial budaya, sehingga perkembangannya menjadi tersendat-sendat. Atau mungkin karena kita tidak mempercayai terhadap pihak lain, sehingga karya pendahulu kita selalu dinilai salah, sehingga harus dibongkar. Sikap yang semacam ini harus dihentikan apabila kita tidak mau ketinggalan dengan negara lain.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, janganlah pendidikan dijadikan ajang untuk perebutan kekuasaan politik praktis, apalagi sebagai ajang untuk mencari keuntungan. Selenggarakan pendidikan secara profesional, dan tidak memihak. Untuk itu diperlukan guru yang berkualitas dan profesional. Hal ini akan terwujud apabila penghargaan terhadap guru dilakukan dengan optimal.

Jakarta, 08 Januari 2007

LPPKB

Soeprapto