Presiden : Falsafah Pancasila sudah Final…!!

Judul tulisan ini diangkat dari Pojok Mang Usil, Harian Umum Kompas, Rabu, 15 Februari 2006. Diangkat menjadi judul, karena menyentuh perasaan dan pikiran. Jangan-jangan keterpurukan bangsa Indonesia sebab utamanya adalah melupakan Pancasila. Mengapa sudah final dan mengapa dilupakan merupakan ihwal yang harus kita fahami, agar kita mampu mendudukkan Pancasila secara proporsional, sebagai faktor terbentuknya negara bangsa Indonesia, dan sekaligus mampu bangkit dari keterpurukan yang berkepanjangan sekarang ini.

Falsafah Pancasila sudah Final
Pancasila, yang unsur-unsur pembentuknya diangkat dari nilai-nilai budaya yang hidup di dalam masyarakat, dijadikan falsafah bangsa. Oleh penggalinya, Bung Karno, Pancasila diusulkan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk dijadikan dasar negara yang akan dibentuk, sekaligus dijadikan solusi mengatasi situasi yang tegang dalam menentukan pilihan dasar negara, sebagai negara nasionalis sekuler atau sebagai negara agama Islam. Oleh PPKI, Pancasila diterima dengan aklamasi dijadikan dasar negara. Dalam konteks inilah Pancasila sudah final. Pancasila menjadi perjanjian luhur bangsa Indonesia dalam membentuk negara. Setiap usaha melepaskan, mengebiri, mengubah, mencairkan Pancasila sama dengan usaha membatalkan perjanjian luhur bangsa Indonesia. Mempersoalkan Pancasila sama dengan mempersoalkan eksistensi bangsa dan negara Indonesia.
Pancasila sudah final bukan berarti sudah jumud, melainkan harus tetap digali dan dikembangkan kemampuannya untuk menjawab tantangan jaman, seperti saat dilahirkannya.
Apabila Pancasila yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 digali, dapat ditemukan kandungan nilai-nilai dan konsep-konsep yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai: keimanan, kedamaian, keadilan, kejujuran, kesetaraan, keberadaban, kebijaksanaan, kemufakatan, solidaritas, persatuan dan kesatuan, dsb dapat ditemukenali dari dalam kandungan Pancasila. Di samping itu, dapat ditemukenali juga konsep-konsep religiositas, hamanitas, nasionalitas, soverenitas, sosialitas, demokrasi, hak dan kewajiban azasi, dsb. Namun sayang, dalam perjalanan sejarah bangsa, Pancasila begitu lahir, dianggap sudah selesai. Cukup menjawab tantangan zamannya pada saat itu saja. Akibatnya, Pancasila hanyalah dijadikan ornamen dalam produk-produk hukum dan politik saja. Digali dan didalami sekedar dijadikan alat politik untuk mempertahankan kekuasaan ordenya.
Saat pemerintahan Presiden Sukarno, kita kenal adanya ”Tubapi”, Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi. Pada pemerintahan Presiden Suharto, dikenal adanya ”P4”, Penataran Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Bukankah itu semua merupakan usaha penggalian dan pendalaman nilai-nilai dan konsep-konsep yang terkandung di dalam Pancasila? Jawabannya adalah ”ya”, namun pelaksanaannya tidak seperti yang diharapkan, sekedar menjadi alat politik kekuasaan pemerintahan belaka.

Pancasila dilupakan
Tahun 1998 Presiden Suharto mengundurkan diri. Lahirlah Orde Reformasi, yang mengadakan perubahan dalam segala bidang kehidupan. Majelis Permusyawaratan Rakyat menafikkan P4, meskipun Pancasila tetap dinyatakan sebagai dasar negara , yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara (Ketetapan MPR-RI No. XVIII/MPR/1998).
Untuk melaksanakan Pancasila secara konsisten, ditetapkan antara lain arah kebijakan Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional (Ketetapan MPR-RI No.V/MPR/2000), dan Etika Kehidupan Berbangsa (Ketetapan MPR-RI No.VI/MPR/2001), dsb. Namun kenyataan menunjukkan, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam keadaan terpuruk. Orang enggan berbicara tentang Pancasila, cenderung melupakan dan bahkan menafikkan. Mereka ”menghakimi” Pancasila menjadi penyebab utama keterpurukan bangsa. Di lain pihak, banyak orang berpendapat bahwa keterpurukan sekarang ini justeru sebab utamanya adalah belum dilaksanakannya Pancasila secara konsisten. Justeru kita melupakan Pancasila-lah maka keadaan menjadi terpuruk seperti sekarang ini.
Pancasila yang mengandung nilai-nilai dan konsep-konsep yang dapat dijadikan pegangan untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dapat diterima semua komponen bangsa, jelas tidak dapat divonis sebagai penyebab keterpurukan kita dewasa ini. Ingat, dalam kegalauan founding fathers kita bersitegang mencari dasar negara yang tepat untuk bangsa kita, Pancasila mampu menjawab dan menjadi solusi kegalauan situasi gawat saat itu. Mengapa saat itu Pancasila mampu menjawab tantangan jamannya, dan sekarang ini dianggap tidak mampu sehingga dilupakan?
Saat itu, founding fathers kita dipenuhi oleh roh semangat perjuangan, kejujuran, ketulusan, kebijaksanaan, kebertanggungjawaban, kerukunan, gotong royong, persatuan dan kesatuan, heroisme, nasionalisme demi memerdekakan bangsanya. Kini, para pemimpin masyarakat dan pemerintahan tidak lagi dihinggapi roh semangat perjuangan seperti halnya founding fathers kita dahulu. Mereka terperangkap dan terberangus pada kehidupan individualistik, materialistik, hedonistik, konsumeristik, dan oportunistik, sehingga ”mindset”-nya tidak terfokus pada kepentingan rakyat, bangsa dan negaranya.

Himbauan dan Harapan
Pancasila tetap dapat menjadi solusi pemecahan masalah dan tetap mampu menjawab tantangan jamannya, asalkan kita, terutama para pemimpin pemerintahan negara dan masyarakat, dapat meneladani founding fathers saat awal mula mendirikan negara bangsa yang menjadi rumah bersama kita sekarang ini.
Permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, agar peradaban Indonesia, kita bangun dengan sungguh-sungguh berdasarkan kebenaran, keadilan, dan kebertanggungjawaban (Harian Kompas, 1 Februari 2006), patut kita sambut bersama. Membangun peradaban tidak lain adalah sama dengan membangun karakter bangsa, character building. Tanamkanlah faktor penentu karakter bangsa, terutama pada setiap insan pemimpin bangsa, diyakini peradaban yang diharapkan niscaya segera terbangun.
Faktor penentu tersebut sudah tersedia di dalam hati nurani kita semua, karena pada dasarnya kita semua telah mendapatkan pencerahan dari ajaran agama kita masing-masing. Setiap kita melangkah berbuat sesuatu, hati nurani kita membisikkan nilai-nilai ”kejujuran, ketulusan, keadilan, kebertanggungjawaban, mencintai sesama, menghormati dan menerima sesama, toleran, bekerja bersama-sama, solidaritas khususnya kepada yang menderita, bekerja keras, patut dipercaya, kesetiaan, kesantunan, keberadaban, melaksanakan kewajiban, memenuhi janji”, dsb yang harus dijadikan keputusan langkah kita.
Bisikan tersebut memberi tuntunan terhadap perbuatan kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara! Kecuali kalau kita semua sudah bisu, tuli dan buta, tidak dapat mendengarkan bisikan hati nurani kta,. sehingga melupakan janji kita dalam berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila. Mendengarkan bisikan hati nurani harus dilatihkan terus menerus. Itulah yang dimaksud dengan character building, pendidikan karakter atau pendidikan watak dalam membentuk karakter bangsa. Pelatihan atau pendidikan karakter tersebut menjadi kewajiban kita bersama, utamanya kewajiban para pakar dan praktisi pendidikan. Semoga mendapat perhatian dan sambutan kita semua!

Jakarta, 15 Februari 2006.
B. Parmanto
Anggota Lembaga Pengkajian dan Pengembangan
Kehidupan Bernegara (LPPKB), Jakarta

Catatan:
Dimuat dalam Surat Kabar Pelita,
Hari Sabtu, 25 Februari 2006